Jumat, 20 September 2013

PENGARUH STRES AIR, INTENSITAS CAHAYA pada TANAMAN JAHE (Zingiber officinale Rosc.)

Air merupakan bagian yang terpenting di dalam tanaman, lebih kurang 80% dari tanaman merupakan air. Air merupakan medium zat-zat lain yang diangkut dari satu sel ke sel lain di dalam tanaman. Tanaman yang kekurangan air terlihat daunnya layu, apabila tanaman kemudian mendapat air dan tanaman segar kembali, maka kondisi ini disebut layu sementara. Apabila kerurangan air terus berlanjut maka berikutnya akan terjadi layu permanen, tanaman akan mati walaupun diberi air. Pengaruh stres air pada tanaman jahe dapat menurunkan jumlah klorofil dan kadar prolin (Bhosale dan Shinde 2011).

Berdasarkan hasil penelitian stres air oleh Bhosale dan Shinde (2011) pada tanaman jahe berasal dari benih jahe yang sudah tumbuh, kemudian ditanam di polybag selama 1 bulan lantas diperlakukan penyiraman 500 ml air dengan interval waktu 5, 7, 9 dan 11 hari, menunjukkan bahwa semakin tinggi tekanan stres air semakin besar penurunan klorofil (Gambar 1A). Jumlah klorofil daun pada interval pemberian air 11 hari menurun hingga menjadi 25% dibandingkan dengan interval pemberian air interval 5 hari. Penurunan jumlah klorofil akan menurunkan aktivitas fotosintesa, karena jumlah klorofil a berkorelasi positif dengan aktivitas fotosintesa (Ghasemzadeh et al. 2010) dan dampaknya adalah penurunan produktivitas tanaman.

Selain berpengaruh terhadap penurunan jumlah klorofil daun, stress air dapat meningkatkan kadar prolin daun dan rimpang tanaman jahe. Prolin adalah asam amino penting dalam tanaman. Tanaman jahe yang mendapat stres air, prolin dapat mencegah oksidasi sel-sel tanaman, selain itu prolin berfungsi sebagai regulator tekanan osmotik sel di dalam tanaman, berfungsi untuk menyerap air. Pada tanaman yang mendapat stress air dibentuklah prolin untuk mengatasi kekurangan air. Prolin banyak diakamulasi di dalam daun dibandingkan di rimpang, semakin besar tekanan stress air tanaman jahe semakin banyak prolin yang disintesa. 

Kamis, 19 September 2013

BUSUK RIMPANG DAN PENYAKIT KUNING PADA JAHE

Gejala dan penyebab
Busuk rimpang pernah merupakan penyakit yang ditemukan dalam jumlah terbatas. Di lapang gejala yang terlihat pada bagian tanaman yang terdapat di permukaan tanah berupa daun menguning dan tersebar secara acak dalam populasi yang relatif terbatas. Bagian yang terserang adalah rimpang yang sudah cukup dewasa, dan biasanya sulit dibedakan dengan layu bakteri. Cara yang biasa dilakukan untuk mengenal gejala ini adalah mencabut batang yang menunjukkan gejala. Pada busuk rimpang batang relatif masih kuat tertahan pada rimpang dan tidak berbau, sebaliknya untuk busuk rimpang yang disebabkan bakteri.

Penyebab busuk rimpang diduga disebabkan oleh beberapa jenis cendawan, antara lain kelompok Rhizoctonia sp. (Mulya dan Oniki 1990). Miftakhurohmah dan Noveriza (2009) mendapatkan beberapa cendawan dari rimpang jahe, dan Fusarium sp. relatif dominan selain jamur-jamur kontaminan yang umum yaitu Aspergilus, Rhizhopus dan Penicillium. Semangun (1989, 1992) dan Soesanto et al. (2003) dalam Soesanto et al. (2005) menyatakan Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. zingiberi Trujillo sebagai penyebab utama busuk rimpang jahe. Di Indonesia cendawan Pythium belum pernah dilaporkan, tetapi di India dan Australia cendawan Phytium merupakan jenis yang dominan menyebabkan busuk rimpang jahe dan dapat menimbulkan kerusakan secara luas khususnya pada pertanaman jahe di dataran tinggi (Dobroo 2005). Demikian juga yang terjadi di Australia.

Rabu, 18 September 2013

BERCAK DAUN JAHE

Penyebab gejala bercak daun jahe adalah cendawan parasit tanaman. Pada kondisi tertentu, misalnya kelembaban yang tinggi, atau menanam jahe di daerah yang berlembah sehingga tanaman menjadi agak ternaungi, serangan cendawan pada daun menjadi masalah yang serius. Beberapa cendawan yang dilaporkan ditemukan menyerang daun pertanaman jahe di Indonesia adalah: Cercospora (Boedjin 1960; Semangun 1992), Phyllosticta (Semangun 1992; Rachmat 1993a), Phakopsora (Boedijn 1960; Rachmat 1993b; Wahyuno et al. 2003) dan Pyricularia sp. (Siswanto et al. 2009). Hingga saat ini, pengetahuan mengenai ekobiologi cendawan-cendawan tersebut masih sangat terbatas.
Hasil survey OPT jahe yang dilakukan bersama Ditjen Perlindungan Hortikultura di tiga lokasi di Jawa dan Sumatera tahun 2008, berdasarkan model gejala yang terlihat ada indikasi variasi jenis cendawan yang dominan di tiap lokasi yang dikunjungi (Siswanto et al. 2009). Kondisi lingkungan, umur tanaman dan jenis jahe yang ditanam mempengaruhi kerusakan dan jenis cendawan yang dominan di suatu daerah.

4.1. Gejala dan penyebab
a. Phyllosticta sp.
Dari empat jenis cendawan tersebut di atas, gejala becak putih yang merata pada permukaan daun dianggap gejala yang paling merusak dan merugikan tanaman. Serangan di awal pertumbuhan dapat menyebabkan produksi turun karena banyak daun yang tidak dapat berfungsi secara optimal. Gejala dapat ditemukan pada daun yang ada di bagian atas hingga di bagian tengah. Infeksi diduga terjadi saat daun baru pada awal membuka penuh. Kobayashi et al. (1993) mendapatkan struktur cendawan yang diidentifikasi sebagai Phyllosticta pada permukaan bagian yang berwarna putih. Siswanto et al. (2009) mendapatkan gejala tersebut di tiga kabupaten yang dikenal secara tradisional sebagai sentra produksi jahe (Boyolali, Jawa Tengah; Sukabumi, Jawa Barat dan Kepahiang, Bengkulu). 

PENYAKIT JAHE OLEH NEMATODA PARASIT

Di Indonesia, beberapa nematoda parasit yang berasosiasi dengan tanaman jahe adalah Meloidogyne incognita, Meloidogyne javanica, Radopholus similis, Pratylenchus coffeae, Tylenchus sp., Helicotylenchus sp., Rotylenchus sp., Aphelenchus sp., Ditylenchus sp., Pratylenchus sp. (Djiwanti 1989; Mustika 1991; 1992). Di antara nematoda tersebut, jenis nematoda yanng sering menyerang dan merugikan adalah nematoda buncak akar Meloidogyne spp. dan nematoda pelubang akar R. similis; karena tingkat populasi dan frekwensi keberadaannya cukup tinggi. Di India, M. incognita and R. similis merupakan spesies yang penting pada jahe (Sheela et al. 1995).

Di Fiji, serangan R. similis pada jahe dapat mengurangi produksi sebesar 40% (Williams 1980); sedangkan Meloidogyne spp. di Queensland dilaporkan dapat mengurangi hasil sampai 57% (Pegg et al. 1974). Selain mengurangi produksi, serangan nematoda juga dapat menurunkan kualitas dan menghambat ekspor. Pada tahun 1991, ekspor jahe Indonesia ke Jepang dan USA ditolak karena rimpangnya mengandung R. similis (Suparno 1996; Puskara 1994). Selain itu, kehilangan hasil jahe yang lebih besar dapat terjadi apabila bakteri Ralstonia solanacearum terdapat bersama-sama dengan nematoda R. similis atau Meloidogyne app., dimana jumlah tanaman layu meningkat dan terjadinya layu lebh cepat (Mustika dan Nurawan 1992). Luka akibat tusukan stilet nematoda mempermudah infeksi bakteri patogen ke dalam jaringan akar dan rimpang (Mustika 1992).

PENGENALAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum)

2.1. Penyakit Layu Bakteri
Penyakit layu bakteri sering diketemukan pada pertanaman jahe terutama di daerah tropis dan sub tropis yang beriklim lembab. Di Indonesia serangan penyakit tersebut dapat menyebabkan kehilangan hasil rimpang jahe sampai 90%. Oleh karena itu penyakit layu bakteri merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman jahe.
2.2. Gejala
Pada umumnya gejala penyakit mulai muncul pada saat tanaman berumur 3 atau 4 bulan. Gejala penyakit diawali dengan terjadinya daun-daun yang menguning dan menggulung. Gejala menguning pada daun tersebut pada umumnya dimulai dari bagian tepi dan berkembang keseluruh helaian daun (Gambar 1A). Selanjutnya seluruh bagian daun menjadi kuning, layu, kering, dan tanaman menjadi mati. Pada bagian pangkal batang yang sakit terlihat gejala busuk kebasahan ”water soaked”. Pada batang yang sakit sering terlihat adanya garis-garis membujur yang berwarna hitam atau abu-abu yang merupakan jaringan yang rusak. Tanaman yang sakit batangnya akan mudah dicabut dan dilepas dari bagian rimpangnya. Apabila batang ditekan, dari penampang melintangnya akan terlihat adanya eksudat bakteri yang keluar yang berwarna putih susu yang baunya khas sangat menyengat.

GULMA PADA BUDIDAYA TANAMAN JAHE

Gulma didefinisikan sebagai tumbuhan yang tumbuh di suatu tempat dalam waktu tertentu tidak dikehendaki leh manusia. Gulma tidak dikehendaki karena bersaing dengan tanaman yang dibudidayakan dan menyerap biaya pengendalian yang cukup besar yaitu sekitar 25-30% dari biaya produksi. Persaingan tersebut dalam hal kebutuhan unsur hara, air, cahaya dan ruang tumbuh sehingga gulma dapat: 1). menurunkan hasil, 2). menurunkan kualitas hasil, 3). meningkatkan biaya pengerjaan tanah, 4). meningkatkan biaya penyiangan,t 5). meningkatkan kebutuhan tenaga kerja, dan 6). menjadi inang bagi hama dan penyakit yang menyerang tanaman pokok. Gulma mampu bersaing efektif selama jangka waktu kira-kira 1/4 - 1/3 dari daur hidup tanaman semusim (annual crops) sejak awal pertumbuhannya hingga tanaman dalam usia menjelang panen Soerjani et al. 1996).

Di lahan kering gulma tumbuh lebih awal dan populasinya lebih padat sehingga menang bersaing dengan tanaman yang dibudidayakan. Oleh karena itu gulma seringkali menjadi masalah utama setelah faktor air dalam sistem produksi tanaman terutama tanaman semusim seperti pangan, sayuran, obat, dan hias (Hasanuddin et al. 2000).

Senin, 09 September 2013

BOTANI, SISTEMATIKA DAN KERAGAMAN KULTIVAR JAHE

I. BOTANI DAN KLASIFIKASI

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu jenis tanaman yang termasuk kedalam suku Zingiberaceae. Nama Zingiber berasal dari bahasa Sansekerta “singabera” (Rosengarten 1973) dan Yunani “Zingiberi” (Purseglove et al. 1981) yang berarti tanduk, karena bentuk rimpang jahe mirip dengan tanduk rusa. Officinale merupakan bahasa latin (officina) yang berarti digunakan dalam farmasi atau pengobatan (Janson 1981).
Jahe dikenal dengan nama umum (Inggris) ginger atau garden ginger. Nama ginger berasal dari bahasa Perancis:gingembre, bahasa Inggris lama:gingifere, Latin: ginginer, Yunani (Greek): zingiberis (ζιγγίβερις). Namun kata asli dari zingiber berasal dari bahasa Tamil inji ver. Istilah botani untuk akar dalam bahasa Tamil adalah ver, jadi akar inji adalah inji ver. Di Indonesia jahe memiliki berbagai nama daerah. Di Sumatra disebut halia (Aceh), beuing (Gayo), bahing (Karo), pege (Toba), sipode (Mandailing), lahia (Nias), sipodeh (Minangkabau), page (Lubu), dan jahi (Lampung). Di Jawa, jahe dikenal dengan jahe (Sunda), jae (Jawa), jhai (Madura), dan jae (Kangean). Di Sulawesi, jahe dikenal dengan nama layu (Mongondow), moyuman (Poros), melito (Gorontalo), yuyo (Buol), siwei (Baree), laia (Makassar), dan pace (Bugis). Di Nusa Tenggara, disebut jae (Bali), reja (Bima), alia (Sumba), dan lea (Flores). Di Kalimantan (Dayak), jahe dikenal dengan sebutan lai, di Banjarmasin disebut tipakan. Di Maluku, jahe disebut hairalo (Amahai), pusu, seeia, sehi (Ambon), sehi (Hila), sehil (Nusalaut), siwew (Buns), garaka (Ternate), gora (Tidore), dan laian (Aru). Di Papua, jahe disebut tali (Kalanapat) dan marman (Kapaur). Adanya nama daerah jahe di berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan penyebaran jahe meliputi seluruh wilayah Indonesia.