Penyebab gejala bercak daun jahe adalah cendawan parasit tanaman. Pada kondisi tertentu, misalnya kelembaban yang tinggi, atau menanam jahe di daerah yang berlembah sehingga tanaman menjadi agak ternaungi, serangan cendawan pada daun menjadi masalah yang serius. Beberapa cendawan yang dilaporkan ditemukan menyerang daun pertanaman jahe di Indonesia adalah: Cercospora (Boedjin 1960; Semangun 1992), Phyllosticta (Semangun 1992; Rachmat 1993a), Phakopsora (Boedijn 1960; Rachmat 1993b; Wahyuno et al. 2003) dan Pyricularia sp. (Siswanto et al. 2009). Hingga saat ini, pengetahuan mengenai ekobiologi cendawan-cendawan tersebut masih sangat terbatas.
Hasil survey OPT jahe yang dilakukan bersama Ditjen Perlindungan Hortikultura di tiga lokasi di Jawa dan Sumatera tahun 2008, berdasarkan model gejala yang terlihat ada indikasi variasi jenis cendawan yang dominan di tiap lokasi yang dikunjungi (Siswanto et al. 2009). Kondisi lingkungan, umur tanaman dan jenis jahe yang ditanam mempengaruhi kerusakan dan jenis cendawan yang dominan di suatu daerah.
Hasil survey OPT jahe yang dilakukan bersama Ditjen Perlindungan Hortikultura di tiga lokasi di Jawa dan Sumatera tahun 2008, berdasarkan model gejala yang terlihat ada indikasi variasi jenis cendawan yang dominan di tiap lokasi yang dikunjungi (Siswanto et al. 2009). Kondisi lingkungan, umur tanaman dan jenis jahe yang ditanam mempengaruhi kerusakan dan jenis cendawan yang dominan di suatu daerah.
4.1. Gejala dan penyebab
a. Phyllosticta sp.
Dari empat jenis cendawan tersebut di atas, gejala becak putih yang merata pada permukaan daun dianggap gejala yang paling merusak dan merugikan tanaman. Serangan di awal pertumbuhan dapat menyebabkan produksi turun karena banyak daun yang tidak dapat berfungsi secara optimal. Gejala dapat ditemukan pada daun yang ada di bagian atas hingga di bagian tengah. Infeksi diduga terjadi saat daun baru pada awal membuka penuh. Kobayashi et al. (1993) mendapatkan struktur cendawan yang diidentifikasi sebagai Phyllosticta pada permukaan bagian yang berwarna putih. Siswanto et al. (2009) mendapatkan gejala tersebut di tiga kabupaten yang dikenal secara tradisional sebagai sentra produksi jahe (Boyolali, Jawa Tengah; Sukabumi, Jawa Barat dan Kepahiang, Bengkulu).
b. Pyricularia sp.
Cendawan Pyricularia sebelumnya tidak dipernah dilaporkan keberadaannya di Indonesia, meskipun sudah pernah dilaporkan di Jepang (Hashioka 1971, Kotani dan Kurata 1992), Thailand (Bussaban et al. 2003) dan Australia (Clark dan Warner 2000). Siswanto et al. (2009) mendapatkan gejala khas Pyricularia yaitu nekrosa dengan bagian tengah berwarna putih dan tepi berwarna cokelat/gelap di Boyolali, Kepahiang dan dan Sukabumi. Sepintas gejala yang ditimbulkan mirip dengan yang ditimbulkan oleh Phyllosticta, tetapi bagian tepi dari jaringan nekrosa yang terserang Pyricularia cenderung berwarna kuning (Gambar 1F).
c. Cercospora zingiberi
Gejala serangan Cercospora umumnya berupa bercak yang luas denga bagian tepi berwarna kuning pada mulanya. Pada kondisi ideal, yaitu kelembaban dan suhu tinggi, bercak dapat melebar dengan bagian tepi berwarna gelap dan dapat dibedakan dengan bagian yang masih sehat. Pada stadia yang lanjut, terdapat titik-titik warna hitam yang tersebar secara acak pada permukaan jaringan yang mengalami nekrosa (Gambar 1G). Titik-titik tersebut adalah tangkai spora (konidiofor) dan spora (konidia) dari Cercospora. Siswanto et al. (2009) juga melaporkan keberadaan Cercospora di tiga lokasi penanaman jahe yang dikunjungi (Boyolali, Kepahian dan Sukabumi). Cercospora umumnya ditemukan pada daun yang telah terbuka penuh, dan jarang ditemukan pada daun yang masih muda. Pada kondisi lingkungan yang lembab serangan Cercospora dapat terjadi pada hamparan yang luas sehingga dikhawatirkan dapat menurunkan produktivitas per satuan rumpun.
d. Phakopsora elletariae
Phakopsora menyebabkan bercak daun bergaris. Gejala banyak dijumpai pada daun yang telah terbuka, dan tanaman yang tumbuh di tempat yang ternaungi atau rumpun-rumpun jahe yang tumbuh rapat. Phakopsora juga dapat ditemui pada semua pertanaman jahe di Indonesia, tetapi kerusakan yang ditimbulkan tidak sebesar kedua jamur di atas sehingga sering diabaikan dalam pengamatan di lapang. Siswanto et al. (2009) hanya mendapatkan jahe yang terserang Phakopsora di Sukabumi, Jawa Barat dan Kepahiang, Bengkulu; dan tidak dijumpai di Boyolali, Jawa Tengah.
4.2. Eko-Biologi Cendawan Penyebab Bercak Daun
a. Penyebaran
Cendawan penyebab bercak daun pada jahe disebarkan melalui angin. Lingkungan yang lembab dan berangin merupakan kondisi yang ideal bagi penyebaran konidia melalui udara atau aliran air yang terdapat di permukaan daun. Penyebaran melalui aliran udara merupakan cara yang umum bagi keempat cendawan ini. Lapisan lendir pada permukaan konidia Phyllosticta merupakan indikasi bahwa ia dapat tersebar melalui aliran air, selain untuk membantu menempel pada permukaan daun.
Penyebaran melalui benih rimpang masih berupa dugaan yang didasarkan pada seringnya bercak daun Phyllosticta ditemukan pada tanaman yang masih sangat muda (± 1-2 bulan) di lapang, khususnya di daerah endemik penyakit bercak daun.
Penyebaran melalui udara dari sumber-sumber inokulum berupa jaringan tanaman yang telah terinfeksi dan gugur di atas tanah, atau berasal dari lahan lain di sekitar diduga lebih dominan sebagai sumber inokulum di lapang. Phyllosticta dapat bertahan dalam bentuk tubuh buah piknidia yang terbentuk di atas jaringan jahe yang telah terinfeksi.
Pyricularia yang ditumbuhkan pada media buatan (Oat Meal Agar) mampu membentuk struktur bertahan sklerotia berbentuk kumpulan/jalinan hifa yang tebal, dan berwarna gelap dan membentuk konidia dalam jumlah banyak setelah ditumbuhkan pada permukaan daun jahe (Wahyuno et al. 2009). Untuk Phakopsora, stadia uredinia dengan urediniospora nya yang berdinding tebal membuat urediniospora cendawan ini mampu bertahan pada kondisi kering untuk waktu yang lama.
b. Kisaran inang
Cercospora, Phyllosticta, dan Phakopsora merupakan cendawan patogen yang mempunyai karakteristik kekhususan inang yang tinggi. Kisaran inang cendawan-cendawan tersebut umumnya sangat terbatas hanya pada genus tanaman yang sama. Kekhususan inang yang tinggi menjadi dasar pertimbangan mengembangkan varietas tahan atau melakukan sanitasi dan eradikasi secara berkala dan terukur untuk mengurangi sumber inokulum. Wahyuno dan Manohara (2003) menguji sebaran inang Phakopsora elletariae asal Zingiber cassumunar dan mendapatkan inokulum asal Z. cassumunar (temu putih) tidak dapat menyerang Z. offcinalle. Untuk Pyricularia sebaran inangnya belum diketahui, tetapi hasil inokulasi buatan yang dilakukan secara in vitro kisaran inang Pyricularia masih terbatas pada Zingiberaceae.
4.3. Pengendalian
Sifat jamur ini tular udara membuat pengendalian secara individu kurang efektif, karena sumber inokulum (penular) dapat berasal dari tanaman jahe ada di tempat lain. Di lapang secara sepintas jahe merah relatif toleran terhadap serangan patogen penyebab bercak daun baik dari jenis Phyllosticta maupun Pyricularia, tetapi sampai saat ini belum ada varietas jahe yang tahan terhadap bercak daun
a. Kultur teknis
Tindakan kultur teknis tetap dianjurkan untuk menekan sumber inokulum yang berasal dari salah satu lahan, antara lain: sanitasi dengan membuang sisa-sisa tanaman yang telah terserang, melakukan pemupukan yang benar untuk meningkatkan ketahanan dan mengurangi dampak kerusakan, serta mengatur kelembaban dengan jarak tanam atau mengurangi naungan apabila ada. Tindakan pengolahan tanah untuk memperlancar drainase juga dapat dilakukan untuk mengurangi kelembaban udara atau atau memberi mulsa untuk mengurangi penguapan yang berlebih.
b. Fungisida
Fungsida bersifat kontak serta fungisida dengan bahan aktif minyak cengkeh dan serai dapur juga efektif saat diuji di laboratorium (Wahyuno et al. 2009). Di lapang, waktu aplikasi dan kemampuan fungisida bertahan pada permukaan daun menjadi krusial dalam keberhasilan pengendalian bercak daun khususnya di daerah dengan curah hujan tinggi. Di beberapa daerah, petani banyak tidak melakukan aplikasi fungsida secara teratur karena mahalnya harga fungisida. Pengetahuan fisiologi tanaman khususnya saat terjadinya pengisian rimpang dan waktu aplikasi sedang dalam tahap evaluasi. Tanaman jahe di bawah usia kurang dari lima bulan merupakan periode yang peka terhadap serangan bercak daun. Di waktu mendatang aplikasi fungsida selain memperhatikan dosis dan interval, juga perlu memperhatikan fisiologi tanaman.
c. Pengendalian Terpadu
Pengendalian terpadu dalam budidaya jahe masih dalam tahap konsep, karena beberapa komponen pengendaliannya masih dalam tahap pengembangan. Hasil skrining yang dilakukan di rumah kaca, sampai saat ini masih belum ada aksesi jahe yang tahan terhadap bercak daun Pyricularia; di lapang tidak ditemukan aksesi jahe yang tahan 100% terhadap serangan bercak daun. Pemupukan berimbang disertai dengan pemberian K dan Mg yang tinggi juga belum memberi pengaruh yang nyata saat uji dilakukan di lapang. Meskipun pemberian pupuk dengan kadar silikat yang tinggi dilaporkan dapat mengurangi kehilangan hasil pada padi akibat serangan Pyricularia (Rodrigues et al. 2004). Aplikasi fungisida dengan bahan aktif mancozeb mampu menekan kerusakan bercak daun.
Pengendalian terpadu yang dapat dianjurkan untuk menekan serangan bercak daun adalah melakukan penanganan dan seleksi benih, melakukan pengolahan tanah untuk membenamkan sisa-sisa daun jahe terserang, mengatur jarak tanam, pemupukan sesuai SOP, sanitasi apabila ada tanaman terserang, monitoring secara rutin dan aplikasi fungisida apabila diperlukan. Greer dan Webster (2001) menganggap tiga komponen penting dalam pengelolaan blast pada padi di California agar berhasil, yaitu a) adanya varietas tahan, b) aplikasi fungisida yang tepat waktu dan c) penanganan sisa-sisa tanaman yang terserang Pyricularia. Long et al. (2001) juga telah membuktikan infestasi biji padi yang telah terinfeksi Pyricularia pada lahan perlakuan dapat meningkatkan jumlah daun yang terserang dan selanjutnya mendukung terjadinya perkembangan epidemi Pyricularia pada lahan tersebut.
Tanaman yang lemah, kondisi yang lembab dengan suhu tinggi merupakan kondisi yang ideal bagi Pyricularia untuk bersporulasi, untuk kemudian terbawa angin dan menjadi sumber inokulum bagi tanaman lainnya. Lamanya periode yang lembab akan menentukan bisa tidaknya terjadi epidemi pada suatu daerah. Periode lembab yang singkat, akan mengurangi peluang terjadinya infeksi Pyricularia pada padi (Greer dan Webster 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar