Senin, 09 September 2013

BOTANI, SISTEMATIKA DAN KERAGAMAN KULTIVAR JAHE

I. BOTANI DAN KLASIFIKASI

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu jenis tanaman yang termasuk kedalam suku Zingiberaceae. Nama Zingiber berasal dari bahasa Sansekerta “singabera” (Rosengarten 1973) dan Yunani “Zingiberi” (Purseglove et al. 1981) yang berarti tanduk, karena bentuk rimpang jahe mirip dengan tanduk rusa. Officinale merupakan bahasa latin (officina) yang berarti digunakan dalam farmasi atau pengobatan (Janson 1981).
Jahe dikenal dengan nama umum (Inggris) ginger atau garden ginger. Nama ginger berasal dari bahasa Perancis:gingembre, bahasa Inggris lama:gingifere, Latin: ginginer, Yunani (Greek): zingiberis (ζιγγίβερις). Namun kata asli dari zingiber berasal dari bahasa Tamil inji ver. Istilah botani untuk akar dalam bahasa Tamil adalah ver, jadi akar inji adalah inji ver. Di Indonesia jahe memiliki berbagai nama daerah. Di Sumatra disebut halia (Aceh), beuing (Gayo), bahing (Karo), pege (Toba), sipode (Mandailing), lahia (Nias), sipodeh (Minangkabau), page (Lubu), dan jahi (Lampung). Di Jawa, jahe dikenal dengan jahe (Sunda), jae (Jawa), jhai (Madura), dan jae (Kangean). Di Sulawesi, jahe dikenal dengan nama layu (Mongondow), moyuman (Poros), melito (Gorontalo), yuyo (Buol), siwei (Baree), laia (Makassar), dan pace (Bugis). Di Nusa Tenggara, disebut jae (Bali), reja (Bima), alia (Sumba), dan lea (Flores). Di Kalimantan (Dayak), jahe dikenal dengan sebutan lai, di Banjarmasin disebut tipakan. Di Maluku, jahe disebut hairalo (Amahai), pusu, seeia, sehi (Ambon), sehi (Hila), sehil (Nusalaut), siwew (Buns), garaka (Ternate), gora (Tidore), dan laian (Aru). Di Papua, jahe disebut tali (Kalanapat) dan marman (Kapaur). Adanya nama daerah jahe di berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan penyebaran jahe meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Dalam sistematika tumbuhan, tanaman jahe termasuk dalam kingdom Plantae, Subkingdom Tracheobionta, Superdivisi: Spermatophyta, Divisi: Magnoliophyta/Pteridophyyta, Subdivisi: Angiospermae, Kelas: Liliopsida-Monocotyledoneae, Subkelass: Zingiberidae, Ordo: Zingiberales, Suku/Famili: Zingiberaceae, Genus: Zingiber P. Mill. Species: Zingiber officinale (Roscoe, 1817) (US National Plant Database 2004). Sinonim nama jahe adalah : Amomum angustifolium Salisb., dan Amomum zingiber L.
Ada sekitar 47 genera dan 1.400 jenis tanaman yang termasuk dalam dalam suku Zingiberaceae, yang tersebar di seluruh daerah tropis dan sub tropis. Penyebaran Zingiber terbesar di belahan timur bumi, khususnya Indo Malaya yang merupakan tempat asal sebagian besar genus Zingiber (Lawrence 1951: Purseglove 1972). Di Asia Tenggara ditemukan sekitar 80-90 jenis Zingiber yang diperkirakan berasal dari India, Malaya dan Papua. Namun hingga saat ini, daerah asal tanaman jahe belum diketahui. Jahe kemungkinan berasal dari China dan India (Grieve 1931; Vermeulen 1999) namun keragaman genetik yang luas ditemukan di Myanmar (Jatoi et al. 2008) dan India, yang diduga merupakan pusat keragaman jahe (Ravindran et al. 2005).
Jahe memiliki jumlah kromosom 2n=2x=22, namun beberapa kultivar jahe diketahui sebagai poliploid (Kubitzki, 1998). Darlington dan Ammal (1945) dalam Peter et al. (2007) melaporkan terdapat jenis Z. officinale yang memiliki jumlah kromosom sebanyak 28. Darlington dan Wylie (1955) juga menyatakan bahwa pada jahe terdapat 2 kromosom B. Rachmandran (1969) melakukan analisis sitologi pada 5 spesies Zingiber dan menemukan pada seluruh spesies memiliki jumlah kromosom 2n=22. Ratnabal (1979) mengidentifikasi kariotipe 32 kultivar jahe (Z. officinale) dan menemukan seluruh kultivar jahe memiliki kromosom somatik berjumlah 22 dan ditemukan pula adanya kromosom asimetris (kromosom B) pada seluruh kultivar kecuali kultivar Bangkok dan Jorhat. Beltram dan Kam (1984) dalam Peter et al. (2007) mengobservasi 9 Zingiber spp. dan menemukan bahwa Z. officinale bersifat aneuploid (2n=24), polyploid (2n=66) dan terdapat B kromosom (2n= 22+2B). Tetapi Etikawati dan Setyawan (2000), Z. officinale kultivar jahe putih kecil (emprit), gajah dan merah memiliki jumlah kromosom 2n=32. Eksomtramage et al. (2002) mengamati jumlah kromosom 3 spesies Z. officinale asal Thailand dan menemukan 2n=2x=22. Yulianto (2010) menyatakan jumlah kromosom jahe putih dan jahe merah yakni 2n=24=22+2B. Rachmandran (1969) melakukan analisis sitologi pada 5 spesies Zingiber, selain menemukan jumlah khromosom pada seluruh spesies 2n=22 juga membuktikan adanya struktur pindah silang akibat peristiwa inversi. Observasi pada fase metaphase mitosis menemukan bahwa jahe diploid (2n=2x=22) memiliki panjang kromosom rata-rata 128.02 μm dan lebar 5.82 μm. Rasio lengan kromosom terpanjang dan terpendek adalah 2.06:1, hampir 45,5% kromosom memiliki 2 lengan dan terdapat 2 kromosom yang berbeda (Zhi-min et al. 2006). Adanya variasi pada jumlah kromosom merupakan suatu mekanisme adaptasi dan pembentukan spesies pada tanaman. Hal ini juga menjadi penyebab terjadinya variasi genetik pada jahe. Selain itu ditemukannya struktur pindah silang diduga menjadi penyebab rendahnya fertilitas tepung sari yang menyebabkan pembentukan buah dan biji pada jahe jarang terjadi.
1.1. Morfologi
Jahe termasuk tanaman tahunan, berbatang semu, dan berdiri tegak dengan ketinggian mencapai 0,75 m. Secara morfologi, tanaman jahe terdiri atas akar, rimpang, batang, daun, dan bunga. Perakaran tanaman jahe merupakan akar tunggal yang semakin membesar seiring dengan umurnya, hingga membentuk rimpang serta tunas-tunas yang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Akar tumbuh dari bagian bawah rimpang, sedangkan tunas akan tumbuh dari bagian atas rimpang.
Batang pada tanaman jahe merupakan batang semu yang tumbuh tegak lurus, berbentuk bulat pipih, tidak bercabang tersusun atas seludang-seludang dan pelepah daun yang saling menutup sehingga membentuk seperti batang. Bagian luar batang berlilin dan mengilap, serta mengandung banyak air/succulent, berwarna hijau pucat, bagian pangkal biasanya berwarna kemerahan. Bagian batang yang terdapat di dalam tanah, berdaging, bernas, berbuku-buku, dan strukturnya bercabang. Daun terdiri atas pelepah dan helaian. Pelepah daun melekat membungkus satu sama lain sehingga membentuk batang. Helaian daun tersusun berseling, tipis berbentuk bangun garis sampai lanset, berwarna hijau gelap pada bagian atas dan lebih pucat pada bagian bawah, tulang daun sangat jelas, tersusun sejajar. Panjang daun sekitar 5 — 25 cm dan lebar 0,8 — 2,5 cm. Bagian ujung daun agak tumpul dengan panjang lidah 0,3 — 0,6 cm. Permukan atas daun terdapat bulu-bulu putih. Ujung daun meruncing, pangkal daun membulat atau tumpul. Batas antara pelepah dan helaian daun terdapat lidah daun (Ajijah et al. 1997). Jika cukup tersedia air, bagian pangkal daun ini akan ditumbuhi tunas dan menjadi rimpang yang baru.
Rimpang jahe merupakan modifikasi bentuk dari batang tidak teratur.Bagian luar rimpang ditutupi dengan daun yang berbentuk sisik tipis, tersusun melingkar. Rimpang adalah bagian tanaman jahe yang memiliki nilai ekonomi dan dimanfatkan untuk berbagai keperluan antara lain sebagai rempah, bumbu masak, bahan baku obat tradisional, makanan dan minuman dan parfum.
Bunga pada tanaman jahe terletak pada ketiak daun pelindung. Bentuk bunga bervariasi: panjang, bulat telur, lonjong, runcing, atau tumpul. Bunga berukuran panjang 2 — 2,5 cm dan lebar 1 — 1,5 cm. Bunga jahe panjang 30 cm berbentuk spika, bunga berwarna putih kekuningan dengan bercak bercak ungu merah. Rugayah (1994) menyatakan bunga jahe terbentuk langsung dari rimpang, tersusun dalam rangkaian bulir (Spica) berbentuk silinder. Setiap bunga dilindungi oleh daun pelindung berwarna hijau berbentuk bulat telur atau jorong. Jahe merupakan tanaman berkelamin dua (hermaprodit). Pada masing-masing bunga terdapat dua tangkai sari, dua keping kepala sari dan satu bakal buah. Diameter serbuk sari berkisar antara 77-104 μm dengan dinding yang tebal. Kepala putik ujungnya bulat berlubang berukuran 0,5 mm, dikelilingi oleh bulu-bulu yang
Status Teknologi Hasil Penelitian Jahe 5
agak kaku (Melati 2011). Jahe merupakan tanaman yang bersifat self incompatible (Dhamayanthi et al. 2003) dan posisi kepala putik lebih tinggi dibandingkan kepala sari (Pillai et al. 1978), struktur seperti ini mengakibatkan sistem penyerbukan jahe adalah menyerbuk silang. Buah berbentuk bulat panjang, berkulit tipis berwarna merah yang memiliki tiga ruang berisi masing masing banyak bakal biji berwarna hitam dan memiliki selaput biji (Rugayah 1994). Tetapi pada jahe yang ditanam secara komersial jarang berbuah dan berbiji yang kemungkinan disebabkan karena tepung sari jahe steril.
1.2. Kandungan Kimia
Rimpang jahe mengandung 2 komponen utama yaitu (1) komponen volatile dan (2) komponen non-volatile. Komponen volatile terdiri dari oleoresin (4,0-7,5%), yang bertanggung jawab terhadap aroma jahe (minyak atsiri) dengan komponen terbanyak adalah zingiberen dan zingiberol. Minyak atsiri atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak esensial, minyak terbang, serta minyak aromatik adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas. Minyak atsiri jahe berwarna bening sampai kuning tua (Hernani dan Mulyono 1997), dan memiliki nilai ekonomi tinggi karena banyak digunakan dalam industri parfum, kosmetik, essence, farmasi dan flavoring agent. Komponen non-volatile pada jahe bertanggung jawab terhadap rasa pedas, salah satu diantaranya adalah gingerol. Gingerol memiliki rumus kimia 1-[4-hidroksi-3-methoksifenil]-5-hidrokasi-alkan-3-ol dengan rantai samping yang bervariasi. Gingerol merupakan senyawa identitas untuk tanaman jahe dan berfungsi sebagai senyawa yang berkhasiat obat. Gingerol yang terkandung di dalam jahe memiliki efek sebagai antiinflamasi, antipiretik, gastroprotective, cardiotonic dan antihepatoksik (Bhattarai et al. 2001; Jolad et al. 2004), antioksidan, antikanker, antiinflamasi, antiangiogenesis dan anti-artherosclerotic (Shukla dan Singh 2007). Selain komponen volatile dan non- volatile, pada jahe juga terkandung sejumlah nutrisi, seperti vitamin, mineral, protein, karbohidrat dan lemak yang bermanfaat untuk kesehatan.
II. KERAGAMAN KULTIVAR JAHE
Jahe diduga merupakan tanaman introduksi yang selalu diperbanyak secara vegetatif karena jahe jarang berbunga dan membentuk buah dan biji, sehingga keragaman genetiknya sempit. Menurut Rumpfius dalam bukunya Herbarium Amboinense, jahe dibagi menjadi 2 jenis yaitu Zingiber majus (rimpang besar) dan Zingiber minus (rimpang kecil). Sementara itu Vonderman dalam buku Tidjschr voor Ind Geneeskundegen memberi nama jenis Z. rubrum untuk jenis jahe merah dari Z. minus Rumpf. Valeton memberi nama sunti untuk Z. minus Rumpf baik yang berwarna merah maupun putih, tapi terutama untuk jenis jahe merah (Burkill 1935). Heyne (1988) menyatakan di dunia dikenal ada 2 macam jahe yang perbedaannya terletak pada warna rimpang yaitu merah dan putih. Jamaika mengenal 4 tipe jahe yaitu haliya bara, haliya udang dan dua tipe jahe merah yang beraroma sangat tajam dan hanya digunakan sebagai obat, sedangkan di British Salomon dikenal lima tipe jahe. Tindall (1968) menyatakan di Afrika Barat terdapat 2 tipe jahe yang berbeda pada warna rimpangnya yaitu merah ungu dan putih kekuningan. Ridley (1912) menyatakan di Malaysia ditemukan 3 bentuk jahe yaitu halia betel (jahe), halia bara atau halia padi dengan rimpang berukuran lebih kecil berwarna kekuningan, daun lebih sempit, rasa lebih pedas, agak sedikit pahit dan hanya digunakan untuk pengobatan, halia udang yaitu jahe merah (Z. officinale var. rubrum) dengan warna merah pada pangkal akar udara. Di Jepang, jahe terbagi menjadi 3 kelompok yaitu jahe yang berukuran rimpang kecil dan akarnya banyak, rimpang dan akar sedang serta yang berukuran besar dengan akar sedikit.
Di Indonesia dikenal 3 varietas jahe yakni jahe merah (Z. officinale var. rubrum), jahe putih kecil (Z. officinale var. amarum) dan jahe putih besar (Z. officinale var. officinale). Ketiga jenis jahe tersebut memiliki perbedaan morfologi pada ukuran dan warna kulit rimpang (Rostiana et al. 1991), akar, batang, kadar minyak atsiri, kadar pati dan kadar serat (Bermawie 2003). Jahe merah yang dikenal di Indonesia hanya satu jenis, namun di beberapa daerah termasuk di Bengkulu ditemukan jahe merah dengan ukuran rimpang sangat kecil dan sangat pedas, sehingga diduga di Indonesi terdapat 2 macam jahe merah, yaitu rimpang besar dan rimpang kecil seperti yang dilaporkan Rumpfius dan Valeton (Burkill 1935) tentang adanya 2 jenis jahe merah yaitu yang berukuran rimpang besar dan yang berukuran rimpang kecil.
Hasil analisis keragaman jahe menggunakan marka molekuler (AFLP, ISSR atau RAPD) diketahui bahwa keragaman genetik jahe dari India dan Indo China (Myanmar) lebih luas dibandingkan dengan karagaman genetik jahe Indonesia. Selain itu marka RAPD telah banyak digunakan untuk membantu mengidentifikasi beberapa spesies Zingiberaceae, keragaman dalam spesies Zingiber officinale (Hsiang & Huang 2000; Rout et al. 1998), keragaman beberapa species Zingiber spp. (Dasuki et al. 2000; Syamkumar et al. 2003) serta keragaman antar varietas jahe komersial dari Z. officinale (Nayak et al. 2005).
Berdasarkan marka AFLP, keragaman pada masing masing varietas jahe di Indonesia sangat sempit, bahkan keragaman kelompok jahe putih besar lebih sempit dibandingkan dengan jahe putih kecil dan jahe merah dan pengelompokan jahe berdasarkan karakteristik morfologi tidak sejalan dengan hasil pengelompokkan berdasarkan AFLP (Wahyuni et al. 2003) dan RAPD (Kizhakkayil dan Sasikumar 2010; Purwiyanti 2012). Di India, pengelompokkan jahe berdasarkan aktivitas antioksidan menghasilkan pengelompokkan yang selaras dengan dengan pola pita RAPD (Gosh dan Mandi 2011). Purwiyanti (2012) menggunakan karakter morfologi dan profil pita RAPD menemukan bahwa keragaman genetik dalam kultivar jahe putih kecil (Z. officinale var amarum) dan jahe merah (Z. officinale var. rubrum) yang diperoleh dari wilayah Indonesia lebih luas dibandingkan dengan yang dilaporkan Wahyuni et al. (2003). Marka DNA (RAPD) juga cukup sensitif untuk mendeteksi perbedaan genetik pada berbagai varian jahe (Rout et al. 1998). Di India juga juga ditemukan perbedaan pada pola pita RAPD pada jahe yang tumbuh di dataran tinggi dengan yang tumbuh di dataran rendah (Sajeev et al. 2011). Namun jahe yang berasal dari daerah yang sama kebanyakan memiliki pola pita yang tidak berbeda (Kizhakkayil dan Sasikumar 2010). Hal ini menunjukkan marka molekuler lebih akurat dalam mendeteksi perbedaan varietas pada jahe, sekalipun secara morfologi seringkali tidak bisa dibedakan. Banyaknya perbedaan pada pola pita beradasarkan marka molekuler menunjukkan bahwa telah terbentuk berbagai varian genetik jahe akibat adaptasi pada kondisi lingkungan yang berbeda dalam jangka waktu yang lama yang menjadi dasar pembentukan berbagai varietas jahe. Oleh sebab itu program pembentukan varietas pada jahe dapat dilakukan melalui seleksi keragaman genetik dari populasi yang ada di alam.
Hasil seleksi keragaman populasi di alam, telah dihasilkan beberapa varietas dari masing masing kultivar yaitu Cimanggu1 untuk jahe putih besar, Halina1, Halina2, Halina3 dan Halina4 untuk jahe putih kecil serta Jahira1 dan Jahira2 untuk jahe merah dengan karakteristik sifat morfologi seperti diuraikan pada deskripsi (Deptan 2007). Varietas tersebut diperoleh dari hasil seleksi pada jahe yang terdapat di berbagai wilayah Indonesia untuk karakter produktivitas dan mutu (kadar minyak atsiri) yang tinggi. Selain varietas tersebut masih terbuka peluang ditemukannya varietas baru dari keragaman genetik jahe yang ada di alam dari masing masing kultivar Z. officinale var. officinale, Z. officinale var. amarum atau Z. officinale var. rubrum untuk berbagai sifat antara lain untuk varietas toleran penyakit, toleran cekaman lingkungan, hemat pupuk (low input). Pengumpulan keragaman genetik jahe dari alam akan mempercepat dan mempermudah program pemuliaan menghasilkan varietas baru yang sesuai dengan selera konsumen. (Nurliani Bermawie dan Susi Purwiyanti : Peneliti Pemulia Balittro Bogor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar